Tuesday 13 May 2014

Cinta Sejati Dalam Islam



Makna ‘Cinta Sejati’ terus dicari dan digali. Manusia dari zaman ke zaman seakan tidak pernah bosan membicarakannya. Sebenarnya? apa itu ‘Cinta Sejati’ dan bagaimana pandangan Islam terhadapnya?

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga terlimpahkan kepada nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Masyarakat di belahan bumi manapun saat ini sedang diusik oleh mitos ‘Cinta Sejati‘, dan dibuai oleh impian ‘Cinta Suci’. Karenanya, rame-rame, mereka mempersiapkan diri untuk merayakan hari cinta “Valentine’s Day”.

Pada kesempatan ini, saya tidak ingin mengajak saudara menelusuri sejarah dan kronologi adanya peringatan ini. Dan tidak juga ingin membicarakan hukum mengikuti perayaan hari ini. Karena saya yakin, anda telah banyak mendengar dan membaca tentang itu semua. Hanya saja, saya ingin mengajak saudara untuk sedikit menyelami: apa itu cinta? Adakah cinta sejati dan cinta suci? Dan cinta model apa yang selama ini menghiasi hati anda?

Seorang peneliti dari Researchers at National Autonomous University of Mexico mengungkapkan hasil risetnya yang begitu mengejutkan. Menurutnya: Sebuah hubungan cinta pasti akan menemui titik jenuh, bukan hanya karena faktor bosan semata, tapi karena kandungan zat kimia di otak yang mengaktifkan rasa cinta itu telah habis. Rasa tergila-gila dan cinta pada seseorang tidak akan bertahan lebih dari 4 tahun. Jika telah berumur 4 tahun, cinta sirna, dan yang tersisa hanya dorongan seks, bukan cinta yang murni lagi.

Menurutnya, rasa tergila-gila muncul pada awal jatuh cinta disebabkan oleh aktivasi dan pengeluaran komponen kimia spesifik di otak, berupa hormon dopamin, endorfin, feromon, oxytocin, neuropinephrine yang membuat seseorang merasa bahagia, berbunga-bunga dan berseri-seri. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, dan terpaan badai tanggung jawab dan dinamika kehidupan efek hormon-hormon itu berkurang lalu menghilang. (sumber: www.detik.com Rabu, 09/12/2009 17:45 WIB).

Wah, gimana tuh nasib cinta yang selama ini anda dambakan dari pasangan anda? Dan bagaimana nasib cinta anda kepada pasangan anda? Jangan-jangan sudah lenyap dan terkubur jauh-jauh hari.

Anda ingin sengsara karena tidak lagi merasakan indahnya cinta pasangan anda dan tidak lagi menikmati lembutnya buaian cinta kepadanya? Ataukah anda ingin tetap merasakan betapa indahnya cinta pasangan anda dan juga betapa bahagianya mencintai pasangan anda?

Saudaraku, bila anda mencintai pasangan anda karena kecantikan atau ketampanannya, maka saat ini saya yakin anggapan bahwa ia adalah orang tercantik dan tertampan, telah luntur.

Bila dahulu rasa cinta anda kepadanya tumbuh karena ia adalah orang yang kaya, maka saya yakin saat ini, kekayaannya tidak lagi spektakuler di mata anda.

Bila rasa cinta anda bersemi karena ia adalah orang yang berkedudukan tinggi dan terpandang di masyarakat, maka saat ini kedudukan itu tidak lagi berkilau secerah yang dahulu menyilaukan pandangan anda.

Saudaraku! bila anda terlanjur terbelenggu cinta kepada seseorang, padahal ia bukan suami atau istri anda, ada baiknya bila anda menguji kadar cinta anda. Kenalilah sejauh mana kesucian dan ketulusan cinta anda kepadanya. Coba anda duduk sejenak, membayangkan kekasih anda dalam keadaan ompong peyot, pakaiannya compang-camping sedang duduk di rumah gubuk yang reot. Akankah rasa cinta anda masih menggemuruh sedahsyat yang anda rasakan saat ini?

Para ulama’ sejarah mengisahkan, pada suatu hari Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu bepergian ke Syam untuk berniaga. Di tengah jalan, ia melihat seorang wanita berbadan semampai, cantik nan rupawan bernama Laila bintu Al Judi. Tanpa diduga dan dikira, panah asmara Laila melesat dan menghujam hati Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu. Maka sejak hari itu, Abdurrahman radhiallahu ‘anhu mabok kepayang karenanya, tak kuasa menahan badai asmara kepada Laila bintu Al Judi. Sehingga Abdurrahman radhiallahu ‘anhu sering kali merangkaikan bair-bait syair, untuk mengungkapkan jeritan hatinya. Berikut di antara bait-bait syair yang pernah ia rangkai:

Aku senantiasa teringat Laila yang berada di seberang negeri Samawah
Duhai, apa urusan Laila bintu Al Judi dengan diriku?
Hatiku senantiasa diselimuti oleh bayang-bayang sang wanita
Paras wajahnya slalu membayangi mataku dan menghuni batinku.
Duhai, kapankah aku dapat berjumpa dengannya,
Semoga bersama kafilah haji, ia datang dan akupun bertemu.

Karena begitu sering ia menyebut nama Laila, sampai-sampai Khalifah Umar bin Al Khattab radhiallahu ‘anhu merasa iba kepadanya. Sehingga tatkala beliau mengutus pasukan perang untuk menundukkan negeri Syam, ia berpesan kepada panglima perangnya: bila Laila bintu Al Judi termasuk salah satu tawanan perangmu (sehingga menjadi budak), maka berikanlah kepada Abdurrahman radhiallahu ‘anhu. Dan subhanallah, taqdir Allah setelah kaum muslimin berhasil menguasai negeri Syam, didapatkan Laila termasuk salah satu tawanan perang. Maka impian Abdurrahmanpun segera terwujud. Mematuhi pesan Khalifah Umar radhiallahu ‘anhu, maka Laila yang telah menjadi tawanan perangpun segera diberikan kepada Abdurrahman radhiallahu ‘anhu.

Anda bisa bayangkan, betapa girangnya Abdurrahman, pucuk cinta ulam tiba, impiannya benar-benar kesampaian. Begitu cintanya Abdurrahman radhiallahu ‘anhu kepada Laila, sampai-sampai ia melupakan istri-istrinya yang lain. Merasa tidak mendapatkan perlakuan yang sewajarnya, maka istri-istrinya yang lainpun mengadukan perilaku Abdurrahman kepada ‘Aisyah istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan saudari kandungnya.

Menyikapi teguran saudarinya, Abdurrahman berkata: “Tidakkah engkau saksikan betapa indah giginya, yang bagaikan biji delima?”

Akan tetapi tidak begitu lama Laila mengobati asmara Abdurrahman, ia ditimpa penyakit yang menyebabkan bibirnya “memble” (jatuh, sehingga giginya selalu nampak). Sejak itulah, cinta Abdurrahman luntur dan bahkan sirna. Bila dahulu ia sampai melupakan istri-istrinya yang lain, maka sekarang iapun bersikap ekstrim. Abdurrahman tidak lagi sudi memandang Laila dan selalu bersikap kasar kepadanya. Tak kuasa menerima perlakuan ini, Lailapun mengadukan sikap suaminya ini kepada ‘Aisyah radhiallahu ‘anha. Mendapat pengaduan Laila ini, maka ‘Aisyahpun segera menegur saudaranya dengan berkata:


يا عبد الرحمن لقد أحببت ليلى وأفرطت، وأبغضتها فأفرطت، فإما أن تنصفها، وإما أن تجهزها إلى أهلها، فجهزها إلى أهلها.
“Wahai Abdurrahman, dahulu engkau mencintai Laila dan berlebihan dalam mencintainya. Sekarang engkau membencinya dan berlebihan dalam membencinya. Sekarang, hendaknya engkau pilih: Engkau berlaku adil kepadanya atau engkau mengembalikannya kepada keluarganya. Karena didesak oleh saudarinya demikian, maka akhirnya Abdurrahmanpun memulangkan Laila kepada keluarganya. (Tarikh Damaskus oleh Ibnu ‘Asakir 35/34 & Tahzibul Kamal oleh Al Mizzi 16/559)

Bagaimana saudaraku! Anda ingin merasakan betapa pahitnya nasib yang dialami oleh Laila bintu Al Judi? Ataukah anda mengimpikan nasib serupa dengan yang dialami oleh Abdurrahman bin Abi Bakar radhiallahu ‘anhu?(1)

Tidak heran bila nenek moyang anda telah mewanti-wanti anda agar senantiasa waspada dari kenyataan ini. Mereka mengungkapkan fakta ini dalam ungkapan yang cukup unik: Rumput tetangga terlihat lebih hijau dibanding rumput sendiri.

Anda penasaran ingin tahu, mengapa kenyataan ini bisa terjadi?

Temukan rahasianya pada sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini:


الْمَرْأَةُ عَوْرَةٌ فَإِذَا خَرَجَتِ اسْتَشْرَفَهَا الشَّيْطَانُ. رواه الترمذي وغيره
“Wanita itu adalah aurat (harus ditutupi), bila ia ia keluar dari rumahnya, maka setan akan mengesankannya begitu cantik (di mata lelaki yang bukan mahramnya).” (Riwayat At Tirmizy dan lainnya)

Orang-orang Arab mengungkapkan fenomena ini dengan berkata:


كُلُّ مَمْنُوعٍ مَرْغُوبٌ
Setiap yang terlarang itu menarik (memikat).

Dahulu, tatkala hubungan antara anda dengannya terlarang dalam agama, maka setan berusaha sekuat tenaga untuk mengaburkan pandangan dan akal sehat anda, sehingga anda hanyut oleh badai asmara. Karena anda hanyut dalam badai asmara haram, maka mata anda menjadi buta dan telinga anda menjadi tuli, sehingga andapun bersemboyan: Cinta itu buta. Dalam pepatah arab dinyatakan:


حُبُّكَ الشَّيْءَ يُعْمِي وَيُصِمُّ
Cintamu kepada sesuatu, menjadikanmu buta dan tuli.

Akan tetapi setelah hubungan antara anda berdua telah halal, maka spontan setan menyibak tabirnya, dan berbalik arah. Setan tidak lagi membentangkan tabir di mata anda, setan malah berusaha membendung badai asmara yang telah menggelora dalam jiwa anda. Saat itulah, anda mulai menemukan jati diri pasangan anda seperti apa adanya. Saat itu anda mulai menyadari bahwa hubungan dengan pasangan anda tidak hanya sebatas urusan paras wajah, kedudukan sosial, harta benda. Anda mulai menyadari bahwa hubungan suami-istri ternyata lebih luas dari sekedar paras wajah atau kedudukan dan harta kekayaan. Terlebih lagi, setan telah berbalik arah, dan berusaha sekuat tenaga untuk memisahkan antara anda berdua dengan perceraian:


فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ. البقرة 102
“Maka mereka mempelajari dari Harut dan Marut (nama dua setan) itu apa yang dengannya mereka dapat menceraikan (memisahkan) antara seorang (suami) dari istrinya.” (Qs. Al Baqarah: 102)

Mungkin anda bertanya, lalu bagaimana saya harus bersikap?

Bersikaplah sewajarnya dan senantiasa gunakan nalar sehat dan hati nurani anda. Dengan demikian, tabir asmara tidak menjadikan pandangan anda kabur dan anda tidak mudah hanyut oleh bualan dusta dan janji-janji palsu.

Mungkin anda kembali bertanya: Bila demikian adanya, siapakah yang sebenarnya layak untuk mendapatkan cinta suci saya? Kepada siapakah saya harus menambatkan tali cinta saya?

Simaklah jawabannya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:


تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لأَرْبَعٍ لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَجَمَالِهَا وَلِدِينِهَا ، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ تَرِبَتْ يَدَاكَ. متفق عليه
“Biasanya, seorang wanita itu dinikahi karena empat alasan: karena harta kekayaannya, kedudukannya, kecantikannya dan karena agamanya. Hendaknya engkau menikahi wanita yang taat beragama, niscaya engkau akan bahagia dan beruntung.” (Muttafaqun ‘alaih)

Dan pada hadits lain beliau bersabda:


إِذَا خَطَبَ إِلَيْكُمْ مَنْ تَرْضَوْنَ دِينَهُ وَخُلُقَهُ فَزَوِّجُوهُ إِلاَّ تَفْعَلُوا تَكُنْ فِتْنَةٌ فِى الأَرْضِ وَفَسَادٌ عَرِيضٌ. رواه الترمذي وغيره.
“Bila ada seorang yang agama dan akhlaqnya telah engkau sukai, datang kepadamu melamar, maka terimalah lamarannya. Bila tidak, niscaya akan terjadi kekacauan dan kerusakan besar di muka bumi.” (Riwayat At Tirmizy dan lainnya)

Cinta yang tumbuh karena iman, amal sholeh, dan akhlaq yang mulia, akan senantiasa bersemi. Tidak akan lekang karena sinar matahari, dan tidak pula luntur karena hujan, dan tidak akan putus walaupun ajal telah menjemput.


الأَخِلاَّء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلاَّ الْمُتَّقِينَ. الزخرف 67
“Orang-orang yang (semasa di dunia) saling mencintai pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain kecuali orang-orang yang bertaqwa.” (Qs. Az Zukhruf: 67)

Saudaraku! Cintailah kekasihmu karena iman, amal sholeh serta akhlaqnya, agar cintamu abadi. Tidakkah anda mendambakan cinta yang senantiasa menghiasi dirimu walaupun anda telah masuk ke dalam alam kubur dan kelak dibangkitkan di hari kiamat? Tidakkah anda mengharapkan agar kekasihmu senantiasa setia dan mencintaimu walaupun engkau telah tua renta dan bahkan telah menghuni liang lahat?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا، وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ. متفق عليه
“Tiga hal, bila ketiganya ada pada diri seseorang, niscaya ia merasakan betapa manisnya iman: Bila Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dibanding selain dari keduanya, ia mencintai seseorang, tidaklah ia mencintainya kecuali karena Allah, dan ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkan dirinya, bagaikan kebenciannya bila hendak diceburkan ke dalam kobaran api.” (Muttafaqun ‘alaih)

Saudaraku! hanya cinta yang bersemi karena iman dan akhlaq yang mulialah yang suci dan sejati. Cinta ini akan abadi, tak lekang diterpa angin atau sinar matahari, dan tidak pula luntur karena guyuran air hujan.

Yahya bin Mu’az berkata: “Cinta karena Allah tidak akan bertambah hanya karena orang yang engkau cintai berbuat baik kepadamu, dan tidak akan berkurang karena ia berlaku kasar kepadamu.” Yang demikian itu karena cinta anda tumbuh bersemi karena adanya iman, amal sholeh dan akhlaq mulia, sehingga bila iman orang yang anda cintai tidak bertambah, maka cinta andapun tidak akan bertambah. Dan sebaliknya, bila iman orang yang anda cintai berkurang, maka cinta andapun turut berkurang. Anda cinta kepadanya bukan karena materi, pangkat kedudukan atau wajah yang rupawan, akan tetapi karena ia beriman dan berakhlaq mulia. Inilah cinta suci yang abadi saudaraku.

Saudaraku! setelah anda membaca tulisan sederhana ini, perkenankan saya bertanya: Benarkah cinta anda suci? Benarkah cinta anda adalah cinta sejati? Buktikan saudaraku…

Jalan Terdekat Menuju Surga



Bismillahirrahmanirrahim
Surga…negeri indah yang jauh di mata, tapi setiap jiwa mengharapkannya. Ada yang berusaha sungguh-sungguh, ada pula yang jatuh bangun untuk mendapatkannya. Tapi…adapula yang putus asa, sehingga membiarkan dirinya tenggelam dalam kubangan dosa. Mengapa? Karena, ia merasa jalan ke surga itu sulit, melelahkan serta banyak rintangan.

Sungguh, wahai kawan yang hampir putus asa, atau telah berputus asa, dan kawan-kawan yang tak ingin berputus asa, telah ku dapati percakapan penuh nasehat dalam tulisan yang singkat, tentang jalan paling mudah dan dekat menuju surga…
Inilah percakapan yang ku maksud…
Si Fulan bertanya pada temannya,
“Wahai saudaraku tercinta! Apakah engkau menginginkan surga?”
Temannya menjawab,
“Siapakah dari kita yang tidak ingin masuk surga? Siapa di antara kita yang tak ingin mendapatkan kenikmatan yang kekal abadi? Dan siapakah di antara kita yang tak ingin merasakan kesenangan yang kekal, serta kelezatan-kelezatan yang terus menerus, yang tak kan lenyap dan tak pula terputus?”
Si Fulan berkata,
“Kalau begitu…maka mengapa engkau tak beramal shalih yang dapat menyampaikanmu ke surga?”
Temannya menjawab,
“Sesungguhnya jalan ke surga itu sulit, panjang, penuh rintangan dan duri. Sedangkan diriku ini lemah, tak dapat aku bersabar atas kesulitan dan kesusahan yang terdapat di jalan itu.”
Si Fulan berkata,
“Saudaraku…jika engkau merasa tidak dapat bersabar dalam mentaati perintah-perintah Allah, serta bersabar untuk menjauhi perbuatan-perbuatan maksiat selama di dunia, lalu bagaimana engkau akan bersabar jika nanti di akhirat engkau menjadi penghuni neraka Jahannam?! semoga Allah melindungi aku darinya.”
Temannya menjawab,
“Inilah yang mempengaruhiku dan menjadikanku bimbang dalam urusanku. Akan tetapi, aku tidak mengetahui apa yang harus kulakukan dan dari mana aku harus memulainya…. Dan sungguh aku telah terlanjur terjerumus ke jalan maksiat dan hal-hal yg diharamkan.”
Si Fulan berkata,
“Aku akan menunjukkan padamu jalan pintas yang akan menyampaikanmu ke surga. Dan jalan ini adalah jalan yang mudah, tidak ada kesulitan maupun usaha yang berat di dalamnya.”
Temannya berkata,
“Tunjukkan padaku jalan itu, semoga Allah merahmatimu. Sungguh aku selalu ingin memngetahui jalan yang mudah itu.”
Si Fulan berkata,
“Jalan yang dimudahkan ini, dijelaskan oleh Al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya “Al-Fawaaid”, dimana beliau berkata,
’Marilah masuk ke surga Allah…serta berdekatan denganNya di Negeri Keselamatan…tanpa ada letih…tanpa ada kesulitan…dan tanpa ada susah payah…bahkan melalui jalan yang terdekat dan yang termudah…’
’Sesungguhnya, engkau saat ini sedang berada pada satu masa di antara dua masa…dan pada hakikatnya masa itu adalah umurmu…yaitu dimana saat ini engkau ada…di antara masa yang telah lalu dan masa yang akan datang…’
’Adapun masa yang telah lalu…maka ia diperbaiki dengan taubat, penyesalan serta permohonan ampun…dan itu bukanlah sesuatu yang sulit bagimu…serta tidak memerlukan amal-amal yang berat…karena sesungguhnya ia hanyalah amalan hati…’
’Dan pada masa yang akan datang…berusahalah menjauhi dosa-dosa…
dan usahamu untuk menjauhi dosa itu adalah hanya berupa usaha untuk meninggalkan dan bukanlah ia merupakan amalan anggota badan yang menyusahkanmu karena sesungguhnya ia hanyalah berupa kesungguhan serta niat yang kuat…yang akan menyenangkan jasadmu, hatimu serta rahasia-rahasiamu…’
“Apa yang terjadi pada masa lalu, diperbaiki dengan taubat…dan di masa mendatang diperbaiki dengan penghindaran (dari yang haram) dengan kesungguhan serta niat… dan tidak ada kesusahan bagi anggota tubuh atas dua usaha ini.”
“Akan tetapi, yang terpenting dalam masa kehidupanmu adalah masa di antara dua masa (yaitu dimana saat ini engkau berada). Jika engkau menyia-nyiakannya maka engkau telah menyia-nyiakan kebahagiaan dan kesuksesanmu. Namun, jika engkau menjaganya dengan perbaikan dua masa, yaitu masa sebelum dan sesudahnya, dengan cara yang telah disebutkan…maka engkau akan selamat dan menang dengan mendapatkan kelapangan, kelezatan serta kenikmatan…”
Maka, inilah jalan ke surga yang mudah itu….
Bertaubat atas apa yang telah lalu kemudian beramal sholeh serta meninggalkan maksiat pada masa yang akan datang.
Si Fulan menambahkan,
Dan kusampaikan pula padamu sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
“Setiap ummatku akan masuk surga, kecuali yang enggan!” maka shahabat bertanya, siapakah yang enggan itu wahai Rasulullah? Nabi menjawab, “Siapa yang mentaatiku maka ia masuk surga dan siapa yang tidak taat padaku maka ialah yang enggan” (HR Al-Bukhari)
Dan juga sabda Nabi shallallahu’alaihi wasallam,
“Surga itu lebih dekat kepada salah seorang dari kalian dibandingkan dekatnya tali sendalnya terhadapnya, demikian pula dengan neraka.” (Muttafaqun ‘alaih).

Kisah Cinta Sayyidina Ali dan Sayyidah Fathimah Azzahra



Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.






Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibni ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!


‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakr Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.


”Allah mengujiku rupanya”, begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakr. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakr lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali, namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakr menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.


Lihatlah juga bagaimana Abu Bakr berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakr; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab.. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.


Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakr; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud.. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakr sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.


’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. ”Inilah persaudaraan dan cinta”, gumam ’Ali.


”Aku mengutamakan Abu Bakr atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”


Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.


Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.


Lamaran Abu Bakr ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakr mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.


’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah,


’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakr. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya? Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, ”Aku datang bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakr dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakr dan ’Umar..”


Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.


’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. ”Wahai Quraisy”, katanya. ”Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak dari ’Ali ridha.


Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.


Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.


Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.


Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mengeratkan kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?


”Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. ”Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.. ”


”Aku?”, tanyanya tak yakin.


”Ya. Engkau wahai saudaraku!”


”Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”


”Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”


’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.


”Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, ”Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya?


Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.


”Bagaimana jawab Nabi kawan?, Bagaimana lamaranmu?”


”Entahlah..”


”Apa maksudmu?”


”Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban?"
Wahai ali... satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya !”


Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.


Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakr, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.


’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.


Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda ”


‘Ali terkejut dan berkata, “kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? dan Siapakah pemuda itu?”


Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah Dirimu”


Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”


Kemudian Rasulullah saw. mendoakan keduanya:


“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.”
(kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, bab4)

Doa Mencari Jodoh Yang Baik



Berikut ini meupakan Doa Mencari Jodoh yang baik dan InsyaAllah Sesuai dengan yang di inginkan, Salah satu ikhtiyah kita untuk mendapatkan jodoh adalah berdo'a, bagi yang suka wiridan bisa mengamalkan aurat ini setiap malam jumat bacalah surat Alam Nasyrah 313x setiap selesai 10x maka bacalah:


اللهم اشرح صدور اولاد ادم وبنات حواء وارزقنى الزوجة الصالحة التى تحبها وترضاها وارزقنى الزوج الصالح الذي تحبه وترضاه AllahummaSyroh Shuduura awlada adam wa banaati hawa warzuqniy zaujatas Shoolihatal latiy tuhibbuha watardhoohaa war zuqniyz zawjas shoolihul ladzii tuhibbuha wa tardhoohu

Yaa Allah lapangkan hatinya anak cucu adam dan Ibu Hawa, dan berikanlah kami jodoh perempuan yang Engkau cintai dan Engkau Ridhoi, danberilah kami jodoh laki-laki yang Engkau Cintai dan Engkau Ridhoi

insya Allah dengan keberkahan ayat Quran di atas Allah berkenan memberikan jodoh kepada kita semua, amiiinnn


Doa bagi laki-laki yang berharap jodoh: ROBBI HABLII MIILANDUNKA ZAUJATAN THOYYIBAH AKHTUBUHA WA ATAZAWWAJ BIHA WATAKUNA SHOIHIBATAN LII FIDDIINI WADDUNYAA WAL AAKHIROH.
Artinya : Ya Robb berikanlah kepadaku istri yang terbaik dari sisi-Mu, istri yang aku lamar dan nikahi dan istri yang menjadi sahabatku dalam urusan agama, urusan dunia dan akhirat.



Doa bagi wanita yang berharap jodoh: ROBBI HABLII MIN LADUNKA ZAUJAN THOYYIBAN WAYAKUUNA SHOHIBAN LII FIDDIINI WADDUNYAA WAL AAKHIROH.
Artinya : Ya Robb berikanlah kepadaku suami yang terbaik dari sisi-Mu, suami yang juga menjadi sahabatku dalam urusan agama, urusan dunia & akhirat.


Doa tambahan: HASBUNAWLOOH WANI-MAL WAKIIL NI’MAL MAWLA WANI’MAN NASHIIR.
Dasar ayat QS 9:129: Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah : Cukuplah Allah bagiku tidak ada Tuhan selain DIA. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki Arsy yang agung.


Doa untuk dapat jodoh dari hadits: ALLAAHUMMAFTAHLII HIKMATAKA WANSYUR ALAYYA MIN KHOZAA INI ROHMATIKA YAA ARHAMAR-ROOHIMIN.
Artinya : Ya Allah bukakanlah bagiku hikmamu dan limpahkanlah padaku keberkahanMu, wahai Pengasih dan Penyayaang.


LANGKAH ISTIMEWA, puasa sunnah, coba mulai sekarang sampai 40 hari kedepan. Barangsiapa yang membiasakan puasa doanya cepat terkabul.


DOA TAMBAHAN: ROBBANAA HABLANAA MIN AZWAJINAA WADZURRIYAATINAA QURROTA A’YUN WAJ ALNAA LIL MUTTAQIINA IMAAMAA QS ; 25:74 : Dan orang2 yang berkata : Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri2 kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati kami dan jadikanlah kami imam bagi orang2 yang bertakwa.

Doa Dan Wiridan Ibu Hamil Sampai Melahirkan

Wiridan wanita hamil


رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ [الفرقان


“Robbanaa hab lanaa min azwaajinaa wa dzurriyyatinaa qurrota a’yun”


Artinya : "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. 25:74)
Dibaca sebanyak -banyaknya.





Doa agar mudah melahirkan


ﺤﻨﺎ ﻭﻟﺪﺖ ﻤﺭﻴﻡ ﻭﻤﺭﻴﻡ ﻭﻟﺪﺖ ﻋﻴﺴﻰ ﺍﺨﺮﺝ ﺍﻴﻬﺎ ﺍﻟﻤﻮﻟﻮﺪ ﺒﻗﺪﺮﺓ ﺍﻟﻤﻠﻚ ﺍﻟﻤﻌﺒﻮﺪ


“ Hannaa Waladat Maryama Wa Maryama Waladat ‘Iisaa Ukhruj Ayyuhal Mauluudu Biqudrotil Malikil Ma’buudi “.


Artinya : “ Hana melahirkan Maryam, sedangkan Maryam telah melahirkan ‘Isa. Keluarlah (lahirlah) hai anak dengan sebab kekuasaan Raja (Allaah) yang disembah “.
Dibaca saat proses persalinan sebanyak-banyaknya oleh ibu yang akan melahirkan dan orang-orang yang hadir di saat persalinan.


Doa setelah melahirkan


أُعِيْذُهُ بِالوَاحِدِ الصَّمَدِ مِنْ شَرِّ كُلِّ ذِى حَسَدٍ


“U’iidzuhuu bil waahidis shomadi min syarri kulli dzii hasadin”


Artinya : "Aku berlindung akannya dengan pertolongan Tuhan yang Esa yang ditumpu segala kehendak kepadaNya daripada sekalian yang mempunyai dengki"


Dibaca 3 atau 7 X


Setelah bayi lahir diadzani ditelinga sebelah kanan dan dibacakan doa


إِنّى أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ ( آل عمران


“Innii u’iidzuhaa bika wa dzurriyyatahaa minas syaithoonir rojiimi”


Artinya : "Sesungguhnya aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada setan yang terkutuk." (QS. 3:36).


Kemudian dibacakan kalimah Iqomah ditelinga sebelah kiri, diberi nama yang bagus, dicukur rambutnya, dicelaki dan disuapi makanan-makan yang manis seperti madu, kurma dll. Sambil dibacakan doa


اللهم بارك لنا ولهذا الولد في حياته وطول عمره بطاعتك يا ارحم الراحمين


“Allaahumma baarik lanaa wa lihaadzal waladi fii hayaatihii wa thowwil ‘umrohuu bi thoo’atika Yaa arhamar Roohimiin”


Artinya : “Ya Allah, berikanlah keberkahan pada kami dan anak ini, serta panjangkan umurnya dengan senantiasa (menjalani) taat kepada-Mu wahai Dzat Yang paling menyayangi diantara yang menyayangi”


Doa mencium anak kecil


اللهم حببه واحب من يحبه


“Allaahumma habbibhu wa ahibba man yuhibbuhuu”


Artinya : “Ya Allah cintailah dia dan cintai pula orang-orang yang mencintainya”

Kisah Keutamaan Sodaqoh

Ada sebuah keluarga yang terdiri dari sepasang suami isteri dengan beberapa anak wanita mereka. Keadaan keluarga tersebut serba kekurangan.


Ketika suaminya meninggal dunia, isteri beserta anak-anak wanitanya meninggalkan kampung halamannya pergi ke Samarkand untuk menghindari ejekan orang di sekitarnya. Kejadian tersebut terjadi pada musim dingin. Saat mereka telah memasuki kota, si ibu mengajak anak-anaknya singgah di masjid, sementara dirinya pergi untuk mencari sesuap nasi.


Di tengah perjalanan si ibu bertemu dengan dua kelompok orang, yang satu dipimpin oleh seorang Muslim yang merupakan tokoh di kampung itu sendiri, sedang kelompok satunya lagi dipimpin oleh seorang Majusi, pemimpin kampung itu.


Si ibu tersebut lalu menghampiri tokoh tersebut dan menjelaskan mengenai dirinya serta berkata, “Aku mohon agar tuan berkenan memberiku makanan untuk keperluan malam ini!”


“Tunjukkan bukti-bukti bahawa dirimu benar-benar seorang muslimah kata tokoh orang Muslim di kampung itu. “Di kampung tidak ada orang yang mengenaliku,” kata ibu tersebut.


Sang tokoh itu pun akhirnya tidak menghiraukannya. Seterusnya dia hendak memohon kepada si Majusi, pemimpin kampung tersebut. Setelah menjelaskan tentang dirinya dengan tokoh kampung, lelaki Majusi lalu memerintahkan kepada salah seorang anggota keluarganya untuk datang ke masjid bersama si ibu itu, akhirnya dibawalah seluruh keluarga janda tersebut untuk tinggal di rumah Majusi yang memberinya pula pelbagai perhiasan yang bagus.


Tidak berapa lama sesudah itu tokoh masyarakat yang beragama Islam itu bermimpi seakan-akan hari Kiamat telah tiba dan panji kebenaran berada di atas kepala Rasulullah SAW. Dia pun sempat menyaksikan sebuah istana tersusun dari zamrud berwarna hijau. Kepada Rasulullah SAW. dia lalu bertanya, “Wahai Rasululah! Milik siapa istana ini?”


“Milik seorang Muslim yang mengesakan Allah,” jawab Rasulullah. “Wahai Rasulullah, aku pun seorang Muslim,” jawabnya.


“Coba tunjukkan kepadaku bahawa dirimu benar-benar seorang Muslim yang mengesakan Allah,” sabda Rasulullah SAW. kepadanya.


Dia pun bingung atas pertanyaan Rasulullah, dan kepadanya Rasulullah SAW. kemudian bersabda lagi, “Di saat wanita muslimah datang kepadamu, bukankah kamu berkata kepadanya, “Tunjukkan mengenai dirimu kepadaku!” Karenanya, demikian juga yang harus kamu lakukan, yaitu tunjukkan dahulu mengenai bukti diri kamu sebagai seorang Muslim kepadaku!”


Sesaat kemudian lelaki muslim itu terjaga dari tidurnya dan air matanya pun jatuh berderai, lalu dia memukuli mukanya sendiri. Dia berkeliling kota untuk mencari wanita muslimah yang pernah memohon pertolongan kepadanya, hingga dia mengetahui di mana kini wanita tersebut berada.


Lelaki Muslim itu segera berangkat ke rumah orang majusi yang telah menampung wanita muslimah beserta anak-anaknya. “Di mana wanita muslimah itu?’ tanya lelaki Muslim kepada orang majusi.”Ada padaku,” jawab si Majusi. “Aku ingin menemuinya,” ujar lelaki Muslim itu. “Tidak semudah itu,” jawab lelaki majusi. “Ambillah uang seribu dinar dariku dan kemudian mere
ka akan menemuimu,” desak lelaki Muslim. “Aku tidak akan melepaskannya. Mereka telah tinggal di rumahku dan dari mereka aku telah mendapatkan berkatnya,” jawab lelaki majusi itu. “Tidak boleh, engkau harus menyerahkannya,” ujar lelaki Muslim itu seolah-olah memaksa.
Maka, lelaki majusi pun menegaskan kepada tokoh Muslim itu, “Akulah yang berhak menentukan apa yang kamu minta. Dan istana yang pernah kamu lihat dalam mimpi itu adalah diciptakan untukku! Apakah kamu mau menunjukkan ke Islamanmu kepadaku? Demi Allah, aku dan seluruh keluargaku tidak akan tidur sebelum kami memeluk agama Islam di hadapan wanita muslimah itu, dan aku pun telah bermimpi sepertimana yang kamu mimpikan, serta Rasulullah SAW. sendiri telah pula bersabda kepadaku, “Adakah wanita muslimah beserta anaknya itu padamu?”“Ya, benar,” jawabku.


“Istana itu adalah milikmu dan seluruh keluargamu. Kamu dan semua keluargamu termasuk penduduk syurga, karena Allah sejak zaman azali dahulu telah menciptakanmu sebagai orang Mukmin,” sabda Rasulullah kembali. Demikian artikel tentang Kisah Keutamaan Sodaqoh yang dapat kami sampaikan, semoga artikel tersebut bermanfaat untuk pembaca sekalian dan dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari amin.

Penghambat Terkabulnya Doa



Seseorang bertanya kepada Ibrahim bin Adham ra, kita selalu berdoa tetapi mengapa doa kita tidak terkabul padahal Allah Ta'ala telah mewahyukan:

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ

"Dan Rabb-mu berfirman: 'Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku, akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina'."(QS.40:60)


"Sebab hati kalian telah mati" jawab beliau.
"Apa yang membunuhnya?" Tanyanya
"Ada delapan yang membunuh hati" jawab beliau.

Pertama, kalian mengetahui hak-hak Allah, tetapi tidak memenuhinya.
Kedua, Kalian membaca Al-Qur'an, tetapi tidak mengamalkan isinya.
Ketiga, kalian mengaku cinta kepada Nabi Muhammad saw, tetapi tidak mengamalkan sunah-sunahnya.
keempat, kalian menyatakan takut mati, tetapi tidak mempersiapkan diri untuk menghadapinya.
Kelima, Allah telah mewahyukan:

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ

"Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya, supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala."(QS.35:6)

Tetapi kalian justu mentaati ajakannya untuk bermaksiat kepada Allah.
Keenam, kalian mengaku takut kepada siksa neraka, tetapi kalian tenggelamkan tubuh kalian kedalamnya,(dengan selalu berkata dusta).

Ketujuh, kalian menyatakan cinta surga, tetapi tidak beramal untuknya.
Kedelapan, ketika bangun tidur kalian lemparkan aib-aib kalian dibelakang punggung kalian dan kalian hamparkan aib orang didepan mata kalian, sehingga kalian membuat Allah murka.
Jika semua ini kalian lakukan, bagaimana doa kalian akan dikabulkan, jawab Ibrahim bin Adham.

Sejarah KH. Muhammad Kholil Bangkalan Madura (Mbah Kholil)



MANAQIB MBAH KHOLIL BANGKALAN (KH. MUHAMMAD KHOLIL)

A. Masa Kecil

Hari Selasa tanggal 11 Jumadil Akhir 1235 H atau 27 Januari 1820 M, Abdul Lathif seorang Kyai di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, ujung Barat Pulau Madura, Jawa Timur, merasakan kegembiraan yang teramat sangat. Karena hari itu, dari rahim istrinya lahir seorang anak laki-laki yang sehat, yang diberinya nama Muhammad Kholil, yang kelak akan terkenal dengan nama Mbah Kholil.

KH. Abdul Lathif sangat berharap agar anaknya di kemudian hari menjadi pemimpin umat, sebagaimana nenek moyangnya. Seusai mengadzani telinga kanan dan mengiqamati telinga kiri sang bayi, KH. Abdul Lathif memohon kepada Allah agar Dia mengabulkan permohonannya.

Mbah Kholil kecil berasal dari keluarga ulama. Ayahnya, KH. Abdul Lathif, mempunyai pertalian darah dengan Sunan Gunung Jati. Ayah Abdul Lathif adalah Kyai Hamim, anak dari Kyai Abdul Karim. Yang disebut terakhir ini adalah anak dari Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayyid Sulaiman adalah cucu Sunan Gunung Jati. Maka tak salah kalau KH. Abdul Lathif mendambakan anaknya kelak bisa mengikuti jejak Sunan Gunung Jati karena memang dia masih terhitung keturunannya.

Oleh ayahnya, ia dididik dengan sangat ketat. Mbah Kholil kecil memang menunjukkan bakat yang istimewa, kehausannya akan ilmu, terutama ilmu Fiqh dan nahwu, sangat luar biasa. Bahkan ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu Nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan dan juga kehausannya mengenai ilmu Fiqh dan ilmu yang lainnya, maka orang tua Mbah Kholil kecil mengirimnya ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.


B. Belajar ke Pesantren

Mengawali pengembaraannya, sekitar tahun 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Mbah Kholil muda belajar kepada Kyai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan beliau pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan. Kemudian beliau pindah ke Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di Pondok Pesantren ini beliau belajar pula kepada Kyai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi. Kyai Nur Hasan ini, sesungguhnya, masih mempunyai pertalian keluarga dengannya.

Jarak antara Keboncandi dan Sidogiri sekitar 7 Kilometer. Tetapi, untuk mendapatkan ilmu, Mbah Kholil muda rela melakoni perjalanan yang terbilang lumayan jauh itu setiap harinya. Di setiap perjalanannya dari Keboncandi ke Sidogiri, ia tak pernah lupa membaca Surah Yasin. Ini dilakukannya hingga ia -dalam perjalanannya itu- khatam berkali-kali.


C. Orang yang Mandiri

Sebenarnya, bisa saja Mbah Kholil muda tinggal di Sidogiri selama nyantri kepada Kyai Nur Hasan, tetapi ada alasan yang cukup kuat bagi dia untuk tetap tinggal di Keboncandi, meskipun Mbah Kholil muda sebenarnya berasal dari keluarga yang dari segi perekonomiannya cukup berada. Ini bisa ditelisik dari hasil yang diperoleh ayahnya dalam bertani.

Akan tetapi, Mbah Kholil muda tetap saja menjadi orang yang mandiri dan tidak mau merepotkan orangtuanya. Karena itu, selama nyantri di Sidogiri, Mbah Kholil tinggal di Keboncandi agar bisa nyambi menjadi buruh batik. Dari hasil menjadi buruh batik itulah dia memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Sewaktu menjadi Santri Mbah Kholil telah menghafal beberapa matan, seperti Matan Alfiyah Ibnu Malik (Tata Bahasa Arab). Disamping itu beliau juga seorang Hafidz Al-Quran. Beliau mampu membaca Al-Qur’an dalam Qira’at Sab’ah (tujuh cara membaca Al-Quran).


D. Ke Mekkah

Kemandirian Mbah Kholil muda juga nampak ketika ia berkeinginan untuk menimba ilmu ke Mekkah. Karena pada masa itu, belajar ke Mekkah merupakan cita-cita semua santri. Dan untuk mewujudkan impiannya kali ini, lagi-lagi Mbah Kholil muda tidak menyatakan niatnya kepada orangtuanya, apalagi meminta ongkos kepada kedua orangtuanya.

Kemudian, setelah Mbah Kholil memutar otak untuk mencari jalan kluarnya, akhirnya ia memutuskan untuk pergi ke sebuah pesantren di Banyuwangi. Karena, pengasuh pesantren itu terkenal mempunyai kebun kelapa yang cukup luas. Dan selama nyantri di Banyuwangi ini, Mbah Kholil nyambi menjadi “buruh” pemetik kelapa pada gurunya. Untuk setiap pohonnya, dia mendapat upah 2,5 sen. Uang yang diperolehnya tersebut dia tabung. Sedangkan untuk makan, Mbah Kholil menyiasatinya dengan mengisi bak mandi, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah lainnya, serta menjadi juru masak teman-temannya. Dari situlah Mbah Kholil bisa makan gratis.

Akhirnya, pada tahun 1859 M, saat usianya mencapai 24 tahun, Mbah Kholil memutuskan untuk pergi ke Mekkah. Tetapi sebelum berangkat, Mbah Kholil menikah dahulu dengan Nyai Asyik, anak perempuan Lodra Putih.

Setelah menikah, berangkatlah dia ke Mekkah. Dan memang benar, untuk ongkos pelayarannya bisa tertutupi dari hasil tabungannya selama nyantri di Banyuwangi, sedangkan untuk makan selama pelayaran, konon, Mbah Kholil berpuasa. Hal tersebut dilakukan Mbah Kholil bukan dalam rangka menghemat uang, akan tetapi untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, agar perjalanannya selamat.

Pada tahun 1276 H/1859 M, Mbah Kholil Belajar di Mekkah. Di Mekkah Mbah Kholil belajar dengan Syeikh Nawawi Al-Bantani (Guru Ulama Indonesia dari Banten). Diantara gurunya di Mekkah ialah Syeikh Utsman bin Hasan Ad-Dimyathi, Sayyid Ahmad bin Zaini Dahlan, Syeikh Mustafa bin Muhammad Al-Afifi Al-Makki, Syeikh Abdul Hamid bin Mahmud Asy-Syarwani. Beberapa sanad hadits yang musalsal diterima dari Syeikh Nawawi Al-Bantani dan Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail Al-Bimawi (Bima, Sumbawa).

Sebagai pemuda Jawa (sebutan yang digunakan orang Arab waktu itu untuk menyebut orang Indonesia) pada umumnya, Mbah Kholil belajar pada para Syeikh dari berbagai madzhab yang mengajar di Masjid Al-Haram. Namun kecenderungannya untuk mengikuti Madzhab Syafi’i tak dapat disembunyikan. Karena itu, tak heran kalau kemudian dia lebih banyak mengaji kepada para Syeikh yang bermadzhab Syafi’i.

Konon, selama di Mekkah, Mbah Kholil lebih banyak makan kulit buah semangka ketimbang makanan lain yang lebih layak. Realitas ini –bagi teman-temannya, cukup mengherankan. Teman seangkatan Mbah Kholil antara lain: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, dan Syeikh Muhammad Yasin Al-Fadani. Mereka semua tak habis pikir dengan kebiasaan dan sikap keprihatinan temannya itu.

Kebiasaan memakan kulit buah semangka kemungkinan besar dipengaruhi ajaran ngrowot (vegetarian) dari Al-Ghazali, salah seorang ulama yang dikagumi dan menjadi panutannya.

Mbah Kholil sewaktu belajar di Mekkah seangkatan dengan KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Chasbullah dan KH. Muhammad Dahlan. Namum Ulama-ulama dahulu punya kebiasaan memanggil Guru sesama rekannya, dan Mbah Kholil yang dituakan dan dimuliakan di antara mereka.

Sewaktu berada di Mekkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Mbah Kholil bekerja mengambil upah sebagai penyalin kitab-kitab yang diperlukan oleh para pelajar. Diriwayatkan bahwa pada waktu itulah timbul ilham antara mereka bertiga, yaitu: Syeikh Nawawi Al-Bantani, Mbah Kholil dan Syeikh Shaleh As-Samarani (Semarang) menyusun kaidah penulisan Huruf Pegon. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.

Mbah Kholil cukup lama belajar di beberapa pondok pesantren di Jawa dan Mekkah. Maka sewaktu pulang dari Mekkah, beliau terkenal sebagai ahli/pakar nahwu, fiqh, tarekat dan ilmu-ilmu lainnya. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Mbah Kholil selanjutnya mendirikan pondok-pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah Barat Laut dari desa kelahirannya.


E. Ke Tanah Air

Sepulangnya dari Tanah Arab (tak ada catatan resmi mengenai tahun kepulangannya), Mbah Kholil dikenal sebagai seorang ahli Fiqh dan Tarekat. Bahkan pada akhirnya, dia pun dikenal sebagai salah seorang Kyai yang dapat memadukan kedua hal itu dengan serasi. Dia juga dikenal sebagai al-Hafidz (hafal Al-Qur’an 30 Juz). Hingga akhirnya, Mbah Kholil dapat mendirikan sebuah pesantren di daerah Cengkubuan, sekitar 1 Kilometer Barat Laut dari desa kelahirannya.

Dari hari ke hari, banyak santri yang berdatangan dari desa-desa sekitarnya. Namun, setelah putrinya, Siti Khatimah dinikahkan dengan keponakannya sendiri, yaitu Kyai Muntaha; pesantren di Desa Cengkubuan itu kemudian diserahkan kepada menantunya. Mbah Kholil sendiri mendirikan pesantren lagi di daerah Kademangan, hampir di pusat kota; sekitar 200 meter sebelah Barat alun-alun kota Kabupaten Bangkalan. Letak Pesantren yang baru itu, hanya selang 1 Kilometer dari Pesantren lama dan desa kelahirannya.

Di tempat yang baru ini, Mbah Kholil juga cepat memperoleh santri lagi, bukan saja dari daerah sekitar, tetapi juga dari Tanah Seberang Pulau Jawa. Santri pertama yang datang dari Jawa tercatat bernama Hasyim Asy’ari, dari Jombang.

Di sisi lain, Mbah Kholil disamping dikenal sebagai ahli Fiqh dan ilmu Alat (nahwu dan sharaf), ia juga dikenal sebagai orang yang “waskita,” weruh sak durunge winarah (tahu sebelum terjadi). Malahan dalam hal yang terakhir ini, nama Mbah Kholil lebih dikenal.


F. Geo Sosio Politika

Pada masa hidup Mbah Kholil, terjadi sebuah penyebaran Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah di daerah Madura. Mbah Kholil sendiri dikenal luas sebagai ahli tarekat; meskipun tidak ada sumber yang menyebutkan kepada siapa Mbah Kholil belajar Tarekat. Tapi, menurut sumber dari Martin Van Bruinessen (1992), diyakini terdapat sebuah silsilah bahwa Mbah Kholil belajar kepada Kyai ‘Abdul Adzim dari Bangkalan (salah satu ahli Tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah). Tetapi, Martin masih ragu, apakah Mbah Kholil penganut Tarekat tersebut atau tidak?

Masa hidup Mbah Kholil, tidak luput dari gejolak perlawanan terhadap penjajah. Tetapi, dengan caranya sendiri Mbah Kholil melakukan perlawanan.

Pertama: Ia melakukannya dalam bidang pendidikan. Dalam bidang ini, Mbah Kholil mempersiapkan murid-muridnya untuk menjadi pemimpin yang berilmu, berwawasan, tangguh dan mempunyai integritas, baik kepada agama maupun bangsa. Ini dibuktikan dengan banyaknya pemimpin umat dan bangsa yang lahir dari tangannya; salah satu diantaranya adalah KH. Hasyim Asy’ari, Pendiri Pesantren Tebu Ireng.

Kedua: Mbah Kholil tidak melakukan perlawanan secara terbuka, melainkan ia lebih banyak berada di balik layar. Realitas ini tergambar, bahwa ia tak segan-segan untuk memberi suwuk (mengisi kekuatan batin, tenaga dalam) kepada pejuang. Mbah Kholil pun tidak keberatan pesantrennya dijadikan tempat persembunyian.

Ketika pihak penjajah mengetahuinya, Mbah Kholil ditangkap dengan harapan para pejuang menyerahkan diri. Tetapi, ditangkapnya Mbah Kholil, malah membuat pusing pihak Belanda. Karena ada kejadian-kejadian yang tidak bisa mereka mengerti; seperti tidak bisa dikuncinya pintu penjara, sehingga mereka harus berjaga penuh supaya para tahanan tidak melarikan diri.

Di hari-hari selanjutnya, ribuan orang datang ingin menjenguk dan memberi makanan kepada Mbah Kholil, bahkan banyak yang meminta ikut ditahan bersamanya. Kejadian tersebut menjadikan pihak Belanda dan sekutunya merelakan Mbah Kholil untuk dibebaskan saja.

Mbah Kholil adalah seorang ulama yang benar-benar bertanggung jawab terhadap pertahanan, kekukuhan dan maju-mundurnya agama Islam dan bangsanya. Beliau sadar benar bahwa pada zamannya, bangsanya adalah dalam suasana terjajah oleh bangsa asing yang tidak seagama dengan yang dianutnya.

Beliau dan keseluruhan suku bangsa Madura seratus persen memeluk agama Islam, sedangkan bangsa Belanda, bangsa yang menjajah itu memeluk agama Kristiani. Sesuai dengan keadaan beliau sewaktu pulang dari Mekkah yang telah berumur lanjut, tentunya Mbah Kholil tidak melibatkan diri dalam medan perang, memberontak dengan senjata tetapi mengkaderkan pemuda di pondok pesantren yang diasaskannya.

Mbah Kholil sendiri pernah ditahan oleh penjajah Belanda karena dituduh melindungi beberapa orang yang terlibat melawan Belanda di pondok pesantrennya. Beberapa tokoh ulama maupun tokoh-tokoh kebangsaan lainnya yang terlibat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia tidak sedikit yang pernah mendapat pendidikan dari Mbah Kholil.

Diantara sekian banyak murid Mbah Kholil yang cukup menonjol dalam sejarah perkembangan agama Islam dan bangsa Indonesia ialah KH. Hasyim Asy’ari (pendiri Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas Nahdlatul Ulama/NU), KH. Abdul Wahab Chasbullah (pendiri Pondok Pesantren Tambak Beras, Jombang), KH. Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar, Jombang), KH. Ma’shum (pendiri Pondok Pesantren Lasem, Rembang, adalah ayahanda KH. Ali Ma’shum), KH. Bisri Mustofa (pendiri Pondok Pesantren Rembang), dan KH. As’ad Syamsul `Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Asembagus, Situbondo).


G. Karomah Mbah Kholil

Ulama besar yang digelar oleh para Kyai sebagai “Syaikhuna” yakni guru kami, karena kebanyakan Kyai-Kyai dan pengasas pondok pesantren di Jawa dan Madura pernah belajar dan nyantri dengan beliau. Pribadi yang dimaksudkan ialah Mbah Kholil. Tentunya dari sosok seorang Ulama Besar seperti Mbah Kholil mempunyai karomah.

Istilah karomah berasal dari bahasa Arab. Secara bahasa berarti mulia, Syeikh Thahir bin Shaleh Al-Jazairi dalam kitab Jawahirul Kalamiyah mengartikan kata karomah adalah perkara luar biasa yang tampak pada seorang wali yang tidak disertai dengan pengakuan seorang Nabi.

Adapun karomah Mbah Kholil diantaranya:

1. Lebah Gaib

Kekeramatan Mbah Kholil, yang sangat terkenal adalah pasukan lebah gaib. Dalam situasi kritis, beliau bisa mendatangkan pasukan lebah untuk menyerang musuh. Ini sering beliau perlihatkan semasa perang melawan penjajah. Termasuk saat peristiwa 10 November 1945 di Surabaya.

KH. Ghozi menambahkan, dalam peristiwa 10 November 1945, Mbah Kholil, bersama Kyai-Kyai besar seperti Bisri Syansuri, Hasyim Asy’ari, Wahab Chasbullah dan Mbah Abas Buntet Cirebon, mengerahkan semua kekuatan gaibnya untuk melawan tentara Sekutu.

Hizib-hizib yang mereka miliki, dikerahkan semua untuk menghadapi lawan yang bersenjatakan lengkap dan modern.

Sebutir kerikil atau jagung pun, di tangan Kyai-Kyai itu bisa difungsikan menjadi bom berdaya ledak besar. Tak ketinggalan, Mbah Kholil mengacau konsentrasi tentara Sekutu dengan mengerahkan pasukan lebah gaib piaraannya. Disaat ribuan ekor lebah menyerang, konsentrasi lawan buyar. Saat konsentrasi lawan buyar itulah, pejuang kita gantian menghantam lawan.

“Hasilnya terbukti, dengan peralatan sederhana, kita bisa mengusir tentara lawan yang senjatanya super modern. Tapi sayang, peran ulama yang mengerahkan kekuatan gaibnya itu, tak banyak dipublikasikan,” Papar KH. Ghozi, cucu KH. Wahab Chasbullah ini.


2. Membelah Diri

Kesaktian lain dari Mbah Kholil, adalah kemampuannya membelah diri. Dia bisa berada di beberapa tempat dalam waktu bersamaan. Pernah ada peristiwa aneh saat beliau mengajar di pesantren. Saat berceramah, Mbah Kholil melakukan sesuatu yang tak terpantau mata. ”Tiba-tiba baju dan sarung beliau basah kuyup,” Cerita KH. Ghozi.

Para santri heran. Sedangkan beliau sendiri cuek, tak mau menceritakan apa-apa. Langsung ngeloyor masuk rumah, ganti baju.

Teka-teki itu baru terjawab setengah bulan kemudian. Ada seorang nelayan sowan ke Mbah Kholil. Dia mengucapkan terimakasih, karena saat perahunya pecah di tengah laut, langsung ditolong Mbah Kholil.

”Kedatangan nelayan itu membuka tabir. Ternyata saat memberi pengajian, Mbah Kholil dapat pesan agar segera ke pantai untuk menyelamatkan nelayan yang perahunya pecah. Dengan karomah yang dimiliki, dalam sekejap beliau bisa sampai laut dan membantu si nelayan itu,” Papar KH. Ghozi yang kini tinggal di Wedomartani Ngemplak Sleman ini.


3. Menyembuhkan Orang Lumpuh Seketika

Dalam buku yang berjudul “Tindak Lampah Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar” menerangkan bahwa Mbah Kholil Bangkalan termasuk salah satu guru Romo Yai Syeikh Ahmad Jauhari Umar yang mempunyai karomah luar biasa. Diceritakan oleh penulis buku tersebut sebagai berikut:

“Suatu hari, ada seorang keturunan Cina sakit lumpuh, padahal ia sudah dibawa ke Jakarta tepatnya di Betawi, namun belum juga sembuh. Lalu ia mendengar bahwa di Madura ada orang sakti yang bisa menyembuhkan penyakit. Kemudian pergilah ia ke Madura yakni ke Mbah Kholil untuk berobat. Ia dibawa dengan menggunakan tandu oleh 4 orang, tak ketinggalan pula anak dan istrinya ikut mengantar.

Di tengah perjalanan ia bertemu dengan orang Madura yang dibopong karena sakit (kakinya kerobohan pohon). Lalu mereka sepakat pergi bersama-sama berobat ke Mbah Kholil. Orang Madura berjalan di depan sebagai penunjuk jalan. Kira-kira jarak kurang dari 20 meter dari rumah Mbah Kholil, muncullah Mbah Kholil dalam rumahnya dengan membawa pedang seraya berkata: "Mana orang itu?!! Biar saya bacok sekalian."

Melihat hal tersebut, kedua orang sakit tersebut ketakutan dan langsung lari tanpa ia sadari sedang sakit. Karena Mbah Kholil terus mencari dan membentak-bentak mereka, akhirnya tanpa disadari, mereka sembuh. Setelah Mbah Kholil wafat kedua orang tersebut sering ziarah ke makam beliau.


4. Kisah Pencuri Timun Tidak Bisa Duduk

Pada suatu hari petani timun di daerah Bangkalan sering mengeluh. Setiap timun yang siap dipanen selalu kedahuluan dicuri maling. Begitu peristiwa itu terus-menerus, akhirnya petani timun itu tidak sabar lagi. Setelah bermusyawarah, maka diputuskan untuk sowan ke Mbah Kholil. Sesampainya di rumah Mbah Kholil, sebagaimana biasanya Kyai tersebut sedang mengajarkan kitab Nahwu. Kitab tersebut bernama Jurumiyah, suatu kitab tata bahasa Arab tingkat pemula.

“Assalamu’alaikum, Kyai,” Ucap salam para petani serentak.

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,“ Jawab Mbah Kholil.

Melihat banyaknya petani yang datang. Mbah Kholil bertanya: “Sampean ada keperluan, ya?”

“Benar, Kyai. Akhir-akhir ini ladang timun kami selalu dicuri maling, kami mohon kepada Kyai penangkalnya,” Kata petani dengan nada memohon penuh harap.

Ketika itu, kitab yang dikaji oleh Kyai kebetulan sampai pada kalimat “qoma zaidun” yang artinya “zaid telah berdiri”. Lalu serta-merta Mbah Kholil berbicara sambil menunjuk kepada huruf “qoma zaidun”.

“Ya.., Karena pengajian ini sampai ‘qoma zaidun’, ya ‘qoma zaidun’ ini saja pakai sebagai penangkal,” Seru Kyai dengan tegas dan mantap.

“Sudah, Pak Kyai?” Ujar para petani dengan nada ragu dan tanda tanya.

“Ya sudah,” Jawab Mbah Kholil menandaskan.

Mereka puas mendapatkan penangkal dari Mbah Kholil. Para petani pulang ke rumah mereka masing-masing dengan keyakinan kemujaraban penangkal dari Mbah Kholil.

Keesokan harinya, seperti biasanya petani ladang timun pergi ke sawah masing-masing. Betapa terkejutnya mereka melihat pemandangan di hadapannya. Sejumlah pencuri timun berdiri terus-menerus tidak bisa duduk. Maka tak ayal lagi, semua maling timun yang selama ini merajalela diketahui dan dapat ditangkap. Akhirnya penduduk berdatangan ingin melihat maling yang tidak bisa duduk itu, semua upaya telah dilakukan, namun hasilnya sia-sia. Semua maling tetap berdiri dengan muka pucat pasi karena ditonton orang yang semakin lama semakin banyak.

Satu-satunya jalan agar para maling itu bisa duduk, maka diputuskan wakil petani untuk sowan ke Mbah Kholil lagi. Tiba di kediaman Mbah Kholil, utusan itu diberi obat penangkal. Begitu obat disentuhkan ke badan maling yang sial itu, akhirnya dapat duduk seperti sedia kala. Dan para pencuri itupun menyesal dan berjanji tidak akan mencuri lagi di ladang yang selama ini menjadi sasaran empuk pencurian.

Maka sejak saat itu, petani timun di daerah Bangkalan menjadi aman dan makmur. Sebagai rasa terima kasih kepada Mbah Kholil, mereka menyerahkan hasil panenannya yaitu timun ke pondok pesantren berdokar-dokar. Sejak itu, berhari-hari para santri di pondok kebanjiran timun, dan hampir-hampir di seluruh pojok-pojok pondok pesantren dipenuhi dengan timun.


5. Kisah Ketinggalan Kapal Laut

Kejadian ini pada musim haji. Kapal laut pada waktu itu, satu-satunya angkutan menuju Mekkah. Semua penumpang calon haji naik ke kapal dan bersiap-siap, tiba-tiba seorang wanita berbicara kepada suaminya: “Pak, tolong saya belikan anggur, saya ingin sekali,” Ucap istrinya dengan memelas.

“Baik, kalau begitu. Mumpung kapal belum berangkat, saya akan turun mencari anggur,” Jawab suaminya sambil bergegas ke luar kapal.

Suaminya mencari anggur di sekitar ajungan kapal, nampaknya tidak ditemui penjual buah anggur seorangpun. Akhirnya dicobanya masuk ke pasar untuk memenuhi keinginan istrinya tercinta. Dan meski agak lama, toh akhirnya anggur itu didapat juga. Betapa gembiranya sang suami mendapatkan buah anggur itu. Dengan agak bergegas, dia segera kembali ke kapal untuk menemui isterinya. Namun betapa terkejutnya setelah sampai ke ajungan, kapal yang akan ditumpangi semakin lama semakin menjauh. Sedih sekali melihat kenyataan ini. Ia duduk termenung tidak tahu apa yang mesti diperbuat.

Di saat duduk memikirkan nasibnya, tiba-tiba ada seorang laki-laki datang menghampirinya. Dia memberikan nasihat: “Datanglah kamu kepada Mbah Kholil Bangkalan, utarakan apa musibah yang menimpa dirimu!” Ucapnya dengan tenang.

“Mbah Kholil?” Pikirnya. “Siapa dia, kenapa harus ke sana, bisakah dia menolong ketinggalan saya dari kapal?” Begitu pertanyaan itu berputar-putar di benaknya.

“Segeralah ke Mbah Kholil minta tolong padanya agar membantu kesulitan yang kamu alami, insya Allah,” Lanjut orang itu menutup pembicaraan.

Tanpa pikir panjang lagi, berangkatlah sang suami yang malang itu ke Bangkalan. Setibanya di kediaman Mbah Kholil, langsung disambut dan ditanya: “Ada keperluan apa?”

Lalu suami yang malang itu menceritakan apa yang dialaminya mulai awal hingga datang ke Mbah Kholil. Tiba-tiba Kyai itu berkata: “Lho, ini bukan urusan saya, ini urusan pegawai pelabuhan. Sana pergi!”

Lalu suami itu kembali dengan tangan hampa. Sesampainya di pelabuhan sang suami bertemu lagi dengan orang laki-laki tadi yang menyuruh ke Mbah Kholil, lalu bertanya: ”Bagaimana, sudah bertemu Mbah Kholil?”

“Sudah, tapi saya disuruh ke petugas pelabuhan,” Katanya dengan nada putus asa.

“Kembali lagi, temui Mbah Kholil!” Ucap orang yang menasehati dengan tegas tanpa ragu.

Maka sang suami yang malang itupun kembali lagi ke Mbah Kholil. Begitu dilakukannya sampai berulang kali. Baru setelah ketiga kalinya, Mbah Kholil berucap: “Baik kalau begitu, karena sampeyan ingin sekali, saya bantu sampeyan.”

“Terima kasih Kyai,” Kata sang suami melihat secercah harapan.

“Tapi ada syaratnya,” Ucap Mbah Kholil.

“Saya akan penuhi semua syaratnya,” Jawab orang itu dengan sungguh-sungguh.

Lalu Mbah Kholil berpesan: “Setelah ini, kejadian apapun yang dialami sampeyan jangan sampai diceritakan kepada orang lain, kecuali saya sudah meninggal. Apakah sampeyan sanggup?” Seraya menatap tajam.

“Sanggup Kyai,“ Jawabnya spontan.

“Kalau begitu ambil dan pegang anggurmu pejamkan matamu rapat-rapat,” Kata Mbah Kholil.

Lalu sang suami melaksanakan perintah Mbah Kholil dengan patuh. Setelah beberapa menit berlalu dibuka matanya pelan-pelan. Betapa terkejutnya dirinya sudah berada di atas kapal tadi yang sedang berjalan. Takjub heran bercampur jadi satu, seakan tak mempercayai apa yang dilihatnya. Digosok-gosok matanya, dicubit lengannya. Benar kenyataan, bukannya mimpi, dirinya sedang berada di atas kapal. Segera ia temui istrinya di salah satu ruang kapal.

“Ini anggurnya, dik. Saya beli anggur jauh sekali,” Dengan senyum penuh arti seakan tidak pernah terjadi apa-apa dan seolah-olah datang dari arah bawah kapal.

Padahal sebenarnya dia baru saja mengalami peristiwa yang dahsyat sekali yang baru kali ini dialami selama hidupnya. Terbayang wajah Mbah Kholil. Dia baru menyadarinya bahwa beberapa saat yang lalu, sebenarnya dia baru saja berhadapan dengan seseorang yang memiliki karomah yang sangat luar biasa.


6. Belajar Secara Gaib

Mbah Kholil adalah guru utama yang mencetak banyak ulama besar di Jawa Timur. Sampai sekarang, meski sudah meninggal, banyak ulama yang mengaku belajar secara gaib dengan Mbah Kholil. Banyak cara dilakukan untuk belajar kitab secara gaib dari ulama tersohor ini. Salah satunya dengan berziarah serta bermalam di makam beliau.

Seperti pernah dikisahkan KH. Anwar Siradj, pengasuh PP Nurul Dholam Bangil Pasuruan. Saat mempelajari kitab Alfiyah, beliau mengalami kesulitan. Padahal, kitab yang berupa gramatika Bahasa Arab tersebut, merupakan kunci untuk mendalami kitab-kitab lain.

KH. Anwar Siradj sudah mencoba berguru kepada Kyai-Kyai besar di hampir semua penjuru Jawa Timur. Tapi hasilnya nihil. Suatu ketika, seperti dikisahkan Ustadz Muhammad Salim (santri Nurul Dholam), KH. Anwar Siradj dapat petunjuk, agar mempelajari kitab Alfiyah di makam Mbah Kholil.

Petunjuk gaib itu pun dilaksanakan. Selama sebulan penuh KH. Anwar Siradj ziarah di makam Mbah Kholil Bangkalan. Di makam itu dia mempelajari kitab Alfiyah. ”Akhirnya Kiai Anwar bisa menghafal Alfiyah,” Jelas Ustadz Salim.

Banyak ulama generasi sekarang yang meski tidak pernah ketemu fisik dan bahkan lahirnya jauh sesudah Mbah Kholil meninggal, mengakui kalau perintis dakwah di Pulau Madura ini adalah guru mereka. Bukan guru secara fisik, melainkan pembimbing secara batin.


7. Berguru dalam Mimpi

Pada waktu Mbah Kholil masih muda, ada seorang Kyai yang terkenal di daerah Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya tidak hanya terbatas di lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai daerah lain, termasuk Madura.

Mbah Kholil muda yang mendengar ada ulama yang mumpuni itu, terbetik di hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah segala perbekalan dipersiapkan, maka berangkatlah Mbah Kholil muda ke pesantren Abu Darrin dengan harapan dapat segera bertemu dengan ulama yang dikagumi itu. Tetapi alangkah sedihnya ketika dia sampai di Pesantren Wilungan, ternyata Kyai Abu Darrin telah meninggal dunia beberapa hari sebelumnya. Hatinya dirundung duka dengan kepergian Kyai Abu Darrin. Namun karena tekad belajarnya sangat menggelora maka Mbah Kholil muda segera sowan ke makam Kyai Abu Darrin.

Setibanya di makam Abu Darrin, Mbah Kholil muda lalu mengucapkan salam lalu berkata: “Bagaimana saya ini Kyai, saya masih ingin berguru pada Kyai, tetapi Kyai sudah meninggal,” desah Mbah Kholil muda sambil menangis.

Mbah Kholil muda lalu mengambil sebuah mushaf Al-Quran. Kemudian bertawassul dengan membaca Al-Quran terus-menerus sampai 41 hari lamanya. Pada hari ke-41 tiba-tiba datanglah Kyai Abu Darrin dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Kyai Abu Darrin mengajarkan beberapa ilmunya kepada Mbah Kholil muda. Setelah dia bangun dari tidurnya, lalu Mbah Kholil muda serta-merta dapat menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan Alfiyah.


8. Didatangi Macan

Suatu hari di bulan Syawal. Mbah Kholil tiba-tiba memanggil santrinya. “Anak-anakku, sejak hari ini kalian harus memperketat penjagaan pondok pesantren. Pintu gerbang harus senantiasa dijaga, sebentar lagi akan ada macan masuk ke pondok kita ini,” Kata Mbah Kholil agak serius.

Mendengar tutur guru yang sangat dihormati itu, segera para santri mempersiapkan diri. Waktu itu sebelah timur Bangkalan memang terdapat hutan-hutan yang cukup lebat dan angker. Hari demi hari, penjagaan semakin diperketat, tetapi macan yang ditunggu-tunggu itu belum tampak juga. Memasuki minggu ketiga, datanglah ke pesantren seorang pemuda kurus, tidak berapa tinggi, berkulit kuning langsat sambil menenteng kopor seng.

Sesampainya di depan pintu rumah Mbah Kholil, lalu mengucap salam. Mendengar salam itu, bukan jawaban salam yang diterima, tetapi Kyai malah berteriak memanggil santrinya: “Hei santri semua, ada macan....macan.., ayo kita kepung. Jangan sampai masuk ke pondok,” Seru Mbah Kholil bak seorang komandan di medan perang.

Mendengar teriakan Kyai kontan saja semua santri berhamburan, datang sambil membawa apa yang ada, pedang, clurit, tongkat, pacul untuk mengepung pemuda yang baru datang tadi yang mulai nampak kelihatan pucat. Tidak ada pilihan lagi kecuali lari seribu langkah.

Namun karena tekad ingin nyantri ke Mbah Kholil begitu menggelora, maka keesokan harinya mencoba untuk datang lagi. Begitu memasuki pintu gerbang pesantren, langsung disongsong dengan usiran ramai-ramai. Demikian juga keesokan harinya. Baru pada malam ketiga, pemuda yang pantang mundur ini memasuki pesantren secara diam-diam pada malam hari. Karena lelahnya pemuda itu, yang disertai rasa takut yang mencekam, akhirnya tertidur di bawah kentongan surau.

Secara tidak diduga, tengah malam Mbah Kholil datang dan membantu membangunkannya. Karuan saja dimarahi habis-habisan. Pemuda itu dibawa ke rumah Mbah Kholil. Setelah berbasa-basi dengan seribu alasan. Baru pemuda itu merasa lega setelah resmi diterima sebagai santri Mbah Kholil. Pemuda itu bernama Abdul Wahab Chasbullah. Kelak kemudian hari santri yang diisyaratkan macan itu, dikenal dengan nama KH. Wahab Chasbullah, seorang Kyai yang sangat alim, jagoan berdebat, pembentuk komite Hijaz, pembaharu pemikiran. Kehadiran KH. Wahab Chasbullah di mana-mana selalu berwibawa dan sangat disegani baik kawan maupun lawan bagaikan seekor macan, seperti yang diisyaratkan Mbah Kholil.


9. Santri Mimpi dengan Wanita

Pada suatu hari menjelang pagi, santri bernama Bahar dari Sidogiri merasa gundah, dalam benaknya tentu pagi itu tidak bisa shalat Shubuh berjamaah. Ketidakikutsertaan Bahar shalat Shubuh berjamaah bukan karena malas, tetapi disebabkan halangan junub. Semalam Bahar bermimpi tidur dengan seorang wanita. Sangat dipahami kegundahan Bahar. Sebab wanita itu adalah istri Mbah Kholil, gurunya.

Menjelang subuh, terdengar Mbah Kholil marah besar sambil membawa sebilah pedang seraya berucap: “Santri kurang ajar.., santri kurang ajar....!”

Para santri yang sudah naik ke masjid untuk sholat berjamaah merasa heran dan tanda tanya, apa dan siapa yang dimaksud santri kurang ajar itu.

Shubuh itu Bahar memang tidak ikut shalat berjamaah, tetapi bersembunyi di belakang pintu masjid. Seusai shalat Shubuh berjamaah, Mbah Kholil menghadapkan wajahnya kepada semua santri seraya bertanya: “Siapa santri yang tidak ikut berjamaah?” Ucap Mbah Kholil dengan nada menyelidik.

Semua santri merasa terkejut, tidak menduga akan mendapat pertanyaan seperti itu. Para santri menoleh ke kanan-kiri, mencari tahu siapa yang tidak hadir. Ternyata yang tidak hadir waktu itu hanyalah Bahar. Kemudian Mbah Kholil memerintahkan mencari Bahar dan dihadapkan kepadanya. Setelah diketemukan lalu dibawa ke masjid.

Mbah Kholil menatap tajam-tajam kepada Bahar seraya berkata: “Bahar, karena kamu tidak hadir shalat Shubuh berjamaah maka harus dihukum. Tebanglah dua rumpun bambu di belakang pesantren dengan petok ini,” Perintah Mbah Kholil.

Petok adalah sejenis pisau kecil, dipakai menyabit rumput. Setelah menerima perintah itu, segera Bahar melaksanakan dengan tulus. Dapat diduga bagaimana Bahar menebang dua rumpun bambu dengan suatu alat yang sangat sederhana sekali, tentu sangat kesulitan dan memerlukan tenaga serta waktu yang lama sekali. Hukuman ini akhirnya diselesaikan dengan baik.

“Alhamdulillah, sudah selesai Kyai,” Ucap Bahar dengan sopan dan rendah hati.

“Kalau begitu, sekarang kamu makan nasi yang ada di nampan itu sampai habis!” Perintah Kyai kepada Bahar.

Sekali lagi santri Bahar dengan patuh menerima hukuman dari Mbah Kholil. Setelah Bahar melaksanakan hukuman yang kedua, santri Bahar lalu disuruh makan buah-buahan sampai habis yang ada di nampan yang telah tersedia. Mendengar perintah ini santri Bahar melahap semua buah-buahan yang ada di nampan itu. Setelah itu santri Bahar diusir oleh Mbah Kholil seraya berucap: “Hai santri, semua ilmuku sudah dicuri oleh orang ini,” Ucap Mbah Kholil sambil menunjuk ke arah Bahar.

Dengan perasaan senang dan mantap santri Bahar pulang meninggalkan pesantren Mbah Kholil menuju kampung halamannya. Memang benar, tak lama setelah itu, santri yang mendapat isyarat mencuri ilmu Mbah Kholil itu, menjadi Kyai yang sangat alim, yang memimpin sebuah pondok pesantren besar di Jawa Timur. Kyai beruntung itu bernama Kyai Bahar, seorang Kyai besar dengan ribuan santri yang diasuhnya di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.


10. Orang Arab dan Macan Tutul

Suatu hari menjelang shalat Maghrib, seperti biasanya Mbah Kholil mengimami jamaah shalat bersama para santri Kedemangan. Bersamaan dengan Mbah Kholil mengimami shalat, tiba-tiba kedatangan tamu berbangsa Arab. Orang Madura menyebutnya Habib. Seusai melaksanakan shalat, Mbah Kholil menemui tamunya, termasuk orang Arab yang baru datang itu.

Sebagai orang Arab yang mengetahui kefasihan Bahasa Arab, Habib menghampiri Mbah Kholil seraya berucap: “Kyai, bacaan Al-Fatihah Antum (Anda) kurang fasih,” Tegur Habib.

Setelah berbasa-basi beberapa saat, Habib dipersilahkan mengambil wudhu untuk melaksanakan shalat Maghrib. Tempat wudhu ada di sebelah masjid itu. “Silakan ambil wudhu di sana,” Ucap Mbah Kholil sambil menunjukkan arah tempat wudhu.

Baru saja selesai wudhu, tiba-tiba sang Habib dikejutkan dengan munculnya macan tutul. Habib terkejut dan berteriak dengan bahasa Arabnya yang fasih, untuk mengusir macan tutul yang makin mendekat itu. Meskipun Habib mengucapkan bahasa Arab sangat fasih untuk mengusir macan tutul, namun macan itu tidak pergi juga.

Mendengar ribut-ribut di sekitar tempat wudhu Mbah Kholil datang menghampiri. Melihat ada macan yang tampaknya penyebab keributan itu, Mbah Kholil mengucapkan sepatah dua patah kata yang kurang fasih. Anehnya, sang macan yang mendengar kalimat yang dilontarkan Mbah Kholil yang nampaknya kurang fasih itu, macan tutul bergegas menjauh. Dengan kejadian ini, sang Habib paham bahwa sebetulnya Mbah Kholil bermaksud memberi pelajaran kepada dirinya, bahwa suatu ungkapan bukan terletak antara fasih dan tidak fasih, melainkan sejauh mana penghayatan makna dalam ungkapan itu.


11. Jawaban Mbah Kholil kepada Tamunya

Suatu Ketika Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan seorang ulama, manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maaliki yaumiddin’, Maliki-nya dibaca ‘Maaliki’ (dengan memakai alif setelah mim), ataukah ‘Maliki’ (tanpa alif). Setelah berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya sepakat untuk sama-sama datang ke Kyai Keramat, Mbah Kholil Bangkalan.

Ketika itu Kyai yang jadi maha guru para Kyai pulau Jawa itu sedang duduk di dalam mushala. Saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke Mushala sontak saja Mbah Kholil berteriak: “Maaliki yaumiddin ya Habib, Maaliki yaumiddin Habib,” Teriak Kyai Kholil Bangkalan menyambut kedatangan Habib Jindan.

Tentu saja dengan ucapan selamat datang yang aneh itu, sang Habib tak perlu bersusah payah menceritakan soal sengketa Maliki Yaumiddin ataukah Maaliki Yaumiddin itu. Demikian yang diceritakan Habib Luthfi bin Yahya ketika menjelaskan perbendaan pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada Tafsir ath-Thabari.


12. Tongkat Mbah Kholil dan Sumber Mata Air

Suatu hari Mbah Kholil berjalan ke arah selatan Bangkalan. Beberapa santri menyertainya. Setelah berjalan cukup jauh, tepatnya sampai di desa Langgundi, tiba-tiba Mbah Kholil menghentikan perjalanannya. Setelah melihat tanah di hadapannya, dengan serta-merta Mbah Kholil menancapkan tongkatnya ke tanah.

Dari arah lobang bekas tancapan Mbah Kholil tadi, memancarlah sumber air yang sangat jernih. Semakin lama semakin besar. Bahkan karena terus membesar, sumber air tersebut akhirnya menjadi kolam yang bisa dipakai untuk minum dan mandi. Kolam yang bersejarah itu sampai sekarang masih ada. Orang Madura menamakannya Kolla Al-Asror Langgundi. Letaknya sekitar 1 km sebelah Selatan kompleks pemakaman Mbah Kholil Bangkalan.


H. Silsilah Nasab Mbah Kholil

Mbah Kholil (KH. Muhammad Kholil Bangkalan Al-Maduri) adalah titisan beberapa wali yang tergabung dalam Walisongo, Yaitu Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati dan Sunan Kudus, yang mana mereka bermarga “Azmatkhan” dan bersambung pada Sayyid Alawi Ammil Faqih bin Muhammad Shahib Mirbath. Beliau juga bernasab pada keluarga Basyaiban yang bersambung pada Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath Al-Alawi Al-Husaini.

KH. Muhammad Kholil bin KH. Abdul Lathif bin Kyai Hamim bin Kyai Abdul Karim bin Kyai Muharram bin Kyai Asror Karomah bin Kyai Abdullah bin Sayyid Sulaiman. Sayid Sulaiman adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati Cirebon. Syarif Hidayatullah itu putera Sultan Umdatuddin Umdatullah Abdullah yang memerintah di Cam (Campa). Ayahnya adalah Sayyid Ali Nurul Alam bin Sayyid Jamaluddin Al-Kubra.

Berikut ini adalah silsilah nasab Mbah Kholil. Terlebih dahulu saya tulis silsilah jalur laki-laki yang bersambung pada Sunan Kudus, untuk menunjukkan hak beliau dalam menggunakan nama belakang (marga/fam) “Azmatkhan Al-Alawi Al-Husaini”, sesuai dengan adat dan istilah pernasaban bangsa Arab.

• Jalur Sunan Kudus

1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Kyai Sulasi. Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Kyai Martalaksana. Dimakamkan di Banyu Buni, Gelis, Bangkalan.
9. Kyai Badrul Budur. Dimakamkan di Rabesan, Dhuwwek Buter, Kuayar, Bangkalan.
10. Kyai Abdur Rahman (Bhujuk Lek-palek). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
11. Kyai Khatib. Ada yang menulisnya “Ratib”. Dimakamkan di Pranggan, Sumenep.
12. Sayyid Ahmad Baidhawi (Pangeran Ketandar Bangkal). Dimakamkan di Sumenep.
13. Sayyid Shaleh (Panembahan Pakaos). Dimakamkan di Ampel Surabaya.
14. Sayyid Ja’far Shadiq (Sunan Kudus). Dimakamkan di Kudus.
15. Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung). Dimakamkan di Kudus.
16. Sayyid Fadhal Ali Al-Murtadha (Raden Santri /Raja Pandita). Dimakamkan di Gresik.
17. Sayyid Ibrahim (Asmoro). Dimakamkan di Tuban.
18. Sayyid Husain Jamaluddin. Dimakamkan di Bugis.
19. Sayyid Ahmad Syah Jalaluddin. Dimakamkan di Naseradab, India.
20. Sayyid Abdullah. Dimakamkan di Naserabad, India.
21. Sayyid Abdul Malik Azmatkhan. Dimakamkan di Naserabad, India.
22. Sayyid Alawi ‘Ammil Faqih. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.
23. Sayyid Muhammad Shahib Mirbath. Dimakamkan di Zhifar, Hadramaut, Yaman.
24. Sayyid Ali Khali’ Qasam. Dimakamkan di Tarim, Hadramaut, Yaman.
25. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.
26. Sayyid Muhammad. Dimakamkan di Bait Jabir, Hadramaut, Yaman.
27. Sayyid Alawi. Dimakamkan di Sahal, Yaman.
28. Sayyid Abdullah/Ubaidillah. Dimakamkan di Hadramaut, Yaman.
29. Al-Imam Ahmad Al-Muhajir . Dimakamkan di Al-Husayyisah, Hadramaut, Yaman.
30. Sayyid Isa An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.
31. Sayyid Muhammad An-Naqib. Dimakamkan di Bashrah, Iraq.
32. Al-Imam Ali Al-Uradhi. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
33. Al-Imam Ja’far Ash-Shadiq. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
34. Al-Imam Muhammad Al-Baqir. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
35. Al-Imam Ali Zainal Abidin. Dimakamkan di Al-Madinah Al-Munawwarah.
36. Sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dimakamkan di Karbala, Iraq.
37. Sayyidatina Fathimah Az-Zahra’ binti Sayyidina Muhammad Rasulullah. Dimakamkan di Madinah Al-Munawwarah

Maka, dari jalur Sunan Kudus, Mbah Kholil adalah generasi ke-37 dari Rasulullah Saw.

• Jalur Sunan Ampel

1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kyai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10. Sayyid Muhammad Khathib (Raden Bandardayo). Dimakamkan di Sedayu Gresik.
11. Sayyid Musa (Sunan Pakuan). Dimakamkan di Dekat Gunung Muria Kudus. Dalam sebagian catatan nama Musa ini tidak tertulis.
12. Sayyid Qasim (Sunan Drajat). Dimakamkan di Drajat, Paciran Lamongan.
13. Sayyid Ahmad Rahmatullah (Sunan Ampel). Dimakamkan di Ampel, Surabaya.
14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Disini nasab Nyai Sulasi dan Kyai Sulasi bertemu.

Maka, melalui jalur Sunan Ampel, Mbah Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah Saw.

• Jalur Sunan Giri

1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Kyai Hamim. Dimakamkan di Tanjung Porah, Lomaer, Bangkalan.
4. Kyai Abdul Karim.
5. Kyai Muharram. Dimakamkan di Banyo Ajuh, Bangkalan.
6. Kyai Abdul Azhim. Dimakamkan di Tambak Agung, Sukalela, Labeng, Bangkalan.
7. Nyai Tepi Sulasi (Istri Kyai Sulasi). Dimakamkan di Petapan, Trageh, Bangkalan.
8. Nyai Komala. Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
9. Sayyid Zainal Abidin (Sunan Cendana). Dimakamkan di Kuanyar, Bangkalan.
10. Nyai Gede Kedaton (istri Sayyid Muhammad Khathib). Dimakamkan di Giri, Gresik.
11. Panembahan Kulon. Dimakamkan di Giri, Gresik.
12. Sayyid Muhammad Ainul Yaqin (Sunan Giri). Dimakamkan di Giri, Gresik.
13. Maulana Ishaq. Dimakamkan di Pasai.
14. Sayyid Ibrahim Asmoro Tuban. Di sini nasab Nyai Gede Kedaton dan Sayyid Muhammad Khathib bertemu.

Maka, melalui jalur Sunan Giri, Mbah Kholil adalah generasi ke-34 dari Rasulullah Saw.

• Jalur Sunan Gunung Jati

1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Nyai Khadijah (Istri Kyai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.
4. Kyai Asror Karomah.
5. Sayyid Abdullah.
6. Sayyid Ali Al-Akbar.
7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang.
8. Syarifah Khadijah.
9. Maulana Hasanuddin. Dimakamkan di Banten.
10. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Dimakamkan di Cirebon.
11. Sayyid Abdullah Umdatuddin.
12. Sayyid Ali Nuruddin/Nurul Alam.
13. Sayyid Husain Jamaluddin Bugis. Di sini nasab Nyai Khadijah dan Kyai Hamim Kholil bertemu.

Maka, melalui jalur Sunan Gunung Jati, Mbah Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah Saw.

• Jalur Basyaiban

1. Mbah Kholil (Syeikh Muhammad Kholil) Bangkalan.
2. Kyai Abdul Lathif. Dimakamkan di Bangkalan.
3. Nyai Khadijah (Istri Kyai Hamim). Dimakamkan di Bangkalan.
4. Kyai Asror Karomah.
5. Sayyid Abdullah.
6. Sayyid Ali Al-Akbar.
7. Sayyid Sulaiman. Dimakamkan di Mojo Agung, Jombang.
8. Sayyid Abdurrahman (Suami Syarifah Khadijah binti Hasanuddin).
9. Sayyid Umar.
10. Sayyid Muhammad.
11. Sayyid Abdul Wahhab.
12. Sayyid Abu Bakar Basyaiban.
13. Sayyid Muhammad.
14. Sayyid Hasan At-Turabi
15. Sayyid Ali.
16. Al-Imam Muhammad Al-Faqih Al-Muqaddam.
17. Sayyid Ali.
18. Sayyid Muhammad Shahib Mirbat. Di sini nasab keluarga Azmatkhan dan Basyaiban bertemu.

Maka, melalui jalur Sayyid Abdurrahman Basyaiban, Mbah Kholil adalah generasi ke-32 dari Rasulullah Saw.

Demikianlah nasab Mbah Kholil dengan berbagai jalur yang saya dapatkan sampai saat ini, bisa jadi suatu hari nanti kita menemukan nama-nama baru daripada istri-istri jalur laki-laki yang ada itu.

Dalam hal pencatatan nasab, ada satu hal yang cukup membanggakan bagi Kyai-Kyai Jawa dan Madura. Berkat gabungan antara adat Arab dalam menjaga silsilah dan adat Jawa/Madura yang tidak membeda-bedakan garis laki-laki dan perempuan, akhirnya Kyai-Kyai Jawa/Madura banyak yang memiliki silsilah lengkap dari berbagai jalur.

Hal ini pernah ditunjukkan kepada seorang Syeikh dari Yaman, beliau merasa kagum karena banyak jalur perempuan yang juga dicatat dalam silsilah itu selain jalur laki-laki, karena pada umumnya, orang Arab tidak tahu nama-nama kakek-buyutnya yang dari jalur ibu atau jalur nenek, mereka hanya mengenal yang jalur ayah ke atas dengan garis laki-laki.


I. Kiprahnya dalam Pembentukan NU

Peran Mbah Kholil dalam melahirkan NU pada dasarnya tidak dapat diragukan lagi. Hal ini didukung dari suksesnya salah satu dari muridnya, KH. Hasyim Asy’ari, menjadi tokoh dan panutan masyarakat NU. Namun demikian, satu yang perlu digarisbawahi bahwa Mbah Kholil bukanlah tokoh sentral dari NU, karena tokoh tersebut tetap pada KH. Hasyim Asy’ari sendiri.

Mengulas kembali ringkasan sejarah mengenai pembentukan NU, ini berawal pada tahun 1924, saat di Surabaya terdapat sebuah kelompok diskusi yang bernama Tashwirul Afkar (potret pemikiran), yang didirikan oleh salah seorang Kyai muda yang cukup ternama pada waktu itu: KH. Wahab Chasbullah. Kelompok ini lahir dari kepedulian para ulama terhadap gejolak dan tantangan yang di hadapi umat Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun dalam bidang pendidikan dan politik.

Pada perkembangannya kemudian, peserta kelompok diskusi ingin mendirikan Jam’iyah (organisasi) yang ruang lingkupnya lebih besar daripada hanya sebuah kelompok diskusi. Maka, dalam berbagai kesempatan, Kyai Wahab selalu menyosialisasikan ide untuk mendirikan Jam’iyah itu. Dan hal ini tampaknya tidak ada persoalan, sehingga diterima dengan cukup baik ke semua lapisan. Tak terkecuali dari KH. Hasyim Asy’ari, Kyai yang paling berpengaruh pada saat itu.

Namun, KH. Hasyim Asy’ari awalnya tidak serta-merta menerima dan merestui ide tersebut. Terbilang hari dan bulan, KH. Hasyim Asy’ari melakukan shalat istikharah untuk memohon petunjuk Allah, namun petunjuk itu tak kunjung datang.

Sementara itu, Mbah Kholil, guru KH. Hasyim Asy’ari, yang juga guru KH. Wahab Chasbullah, diam-diam mengamati kondisi itu, dan ternyata ia langsung tanggap, dan meminta seorang santri yang masih terbilang cucunya sendiri, dipanggil untuk menghadap kepadanya.

“Saat ini Kyai Hasyim sedang resah, antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya!” Kata Mbah Kholil sambil menyerahkan sebuah tongkat.

“Baik, Kyai,” Jawab As’ad sambil menerima tongkat itu.

“Bacakanlah kepada Kyai Hasyim ayat-ayat ini: Wamaa tilka biyamiinika yaa Muusaa, Qaala hiya ‘ashaaya atawakka-u ‘alaihaa wa abusyyu bihaa ‘alaa ghanami waliya fiihaa ma-aaribu ukhraa. Qaala alqihaa yaa Muusa. Fa-alqahaa faidzaa hiya hayyatun tas’aa. Qaala Khudzhaa wa laa takhaf sanu’iiduhaa shirathal uulaa wadhumm yadaka ila janaahika takhruj baidhaa-a min ghairi suu-in aayatan ukhraa linuriyaka min aayatil kubraa,” Pesan Mbah Kholil.

As’ad segera pergi ke Tebu Ireng, ke kediaman Kyai Hasyim, dan di situlah berdiri pesantren yang diasuh oleh Kyai Hasyim. Mendengar ada utusan Mbah Kholil datang, Kyai Hasyim menduga pasti ada sesuatu, dan ternyata dugaan tersebut benar adanya.

“Kyai, saya diutus Kyai Kholil untuk mengantarkan dan menyerahkan tongkat ini kepada Kyai,” Kata As’ad, pemuda berusia sekitar 27 tahun itu, sambil mengeluarkan sebuah tongkat, dan Kiai Hasyim langsung menerimanya dengan penuh perasaan.

“Ada lagi yang harus kau sampaikan?” Tanya Kyai Hasyim.

“Ada Kyai,” Jawab As’ad. Kemudian ia menyampaikan ayat yang disampaikan Mbah Kholil.

Mendengar ayat yang dibacakan As’ad, hati Kyai Hasyim tergetar. Matanya menerawang, terbayang wajah Mbah Kholil yang tua dan bijak. Kyai Hasyim menangkap isyarat, bahwa gurunya tidak keberatan kalau ia dan teman-temannya mendirikan Jam’iyah. Sejak saat itu, keinginan untuk mendirikan Jam’iyah semakin dimatangkan.

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, setahun telah berlalu, namun Jam’iyah yang diidamkan itu tak kunjung lahir. Sampai pada suatu hari, pemuda As’ad muncul lagi.

“Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” Kata As’ad. “Kyai juga diminta untuk mengamalkan Yaa Jabbaar, Yaa Qahhaar (lafadz Asma’ul Husna) setiap waktu,” Tambah As’ad.

Sekali lagi, pesan gurunya diterima dengan penuh perasaan. Kini hatinya semakin mantap untuk mendirikan Jam’iyah. Namun, sampai tak lama setelah itu, Mbah Kholil meninggal, dan keinginan untuk mendirikan Jam’iyah belum juga bisa terwujud.

Baru setahun kemudian, tepatnya 16 Rajab 1344 H, “jabang bayi” yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU). Dan di kemudian hari, jabang bayi itu pun menjadi “raksasa”.

Tapi, bagaimana Kyai Hasyim menangkap isyarat adanya restu dari Mbah Kholil untuk mendirikan NU dari sepotong tongkat dan tasbih? Tidak lain dan tak bukan karena tongkat dan tasbih itu diterimanya dari Mbah Kholil, seorang Kyai alim yang diyakini sebagai salah satu Wali Allah.

J. Tarekat dan Fiqh

Mbah Kholil adalah salah satu Kyai yang belajar lebih daripada satu madzhab saja. Akan tetapi, di antara madzhab-madzhab yang ada, ia lebih mendalami madzhab Syafi’i di dalam ilmu fiqh.

Pada masa kehidupan Mbah Kholil, yaitu akhir abad-19 dan awal abad-20, di daerah Jawa, khususnya Madura, sedang terjadi perdebatan antara dua golongan pada saat itu. Pada awal abad-20, seperti telah diungkapkan sebelumnya, di daerah Jawa sedang terjadi penyebaran ajaran Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah wa-Naqsyabandiyah, Naqsyabandiyah Muzhariyah dan lain-lain.

Akan tetapi, tidaklah dapat dipungkiri mengenai keterlibatan Mbah Kholil dalam tarekat, terbukti bahwa Mbah Kholil dikenal pertama kali dikarenakan kelebihannya dalam hal tarekat, dan juga memberikan dan mengisi ilmu-ilmu kanuragan kepada para pejuang.

Di sisi lain, Mbah Kholil pun diakui sebagai salah satu Kyai yang dapat menggabungkan tarekat dan fiqh, yang kebanyakan ulama pada saat itu melihat dua hal tersebut bertentangan seperti Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, salah satu ulama yang notabene seangkatan dengan Mbah Kholil.

Memang, Mbah Kholil hidup pada masa penyebaran tarekat begitu gencar-gencarnya, sehingga kebanyakan ulama pada saat itu, mempunyai dan memilki ilmu-ilmu kanuragan, dan tidak terkecuali Mbah Kholil. Namun demikian, perbedaan antara Mbah Kholil dengan kebanyakan Kyai yang lainnya, bahwa Mbah Kholil tidak sampai mengharamkan atau pun menyebutnya sebagai perlakuan syirik dan bid’ah bagi penganut tarekat. Mbah Kholil justru meletakkan dan menggabungkan antara keduanya (tarekat dan fiqh).

Dalam penggabungan dua hal ini, Mbah Kholil mendudukkan tarekat di bawah fiqh, sehingga ajaran-ajaran tarekat mempunyai batasan-batasan tersendiri yaitu fiqh. Selain itu, ajaran tarekat juga tidak menjadi ajaran yang tanpa ada batasannya. Namun, yang cukup disayangkan adalah, tidak banyaknya referensi yang menjelaskan tentang cara atau pun pola-pola dalam penggabungan tarekat dan fiqh oleh Mbah Kholil tersebut.


K. Peninggalan

Dalam bidang karya, memang hampir tidak ada literatur yang menyebutkan tentang karya Mbah Kholil. akan tetapi Mbah Kholil meninggalkan banyak sejarah dan sesuatu yang tidak tertulis dalam literatur yang baku. Ada pun peninggalan Mbah Kholil di antaranya:

Pertama: Mbah Kholil turut melakukan pengembangan pendidikan pesantren sebagai pendidikan alternatif bagi masyarakat Indonesia. Pada saat penjajahan Belanda, hanya sedikit orang yang dibolehkan belajar, itu pun hanya dari golongan priyayi saja; di luar itu, tidaklah dapat belajar di sekolah. Dari sanalah pendidikan pesantren menjadi jamur di daerah Jawa, dan terhitung sangat banyak santri Mbah Kholil yang setelah lulus, mendirikan pesantren. Seperti Kyai Hasyim (Pendiri Pesantren Tebu Ireng), Kyai Wahab Chasbullah (Pendiri Pesantren Tambak Beras), Kyai Ali Ma’shum (Pendiri Pesantren Lasem Rembang), dan Kyai Bisri Musthafa (Pendiri Pesantren Rembang). Dari murid-murid Mbah Kholil, banyak muridnya yang di kemudian hari mendirikan pesantren, dan begitu seterusnya sehingga pendidikan pesantren menjadi jamur di Indonesia.

Kedua: Selain Pesantren yang Mbah Kholil tinggal di Madura –khususnya, ia juga meninggalkan kader-kader Bangsa dan Islam yang berhasil ia didik, sehingga akhirnya menjadi pemimpin-pemimpin umat.

Mbah Kholil (KH. Muhammad Kholil Bangkalan Al-Maduri), adalah satu fenomena tersendiri. Dia adalah salah seorang tokoh pengembang pesantren di Nusantara. Sebagian besar pengasuh pesantren, memiliki sanad (sambungan) dengan para murid Mbah Kholil, yang tentu saja memiliki kesinambungan dengan Mbah Kholil.

Beliau wafat dalam usia yang lanjut 106 tahun, pada 29 Ramadhan 1341 H/14 Mei 1923 M.

Doa mohon ketakwaan, kesehatan dan kekayaan harta dan hati


اَللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ الْهُدَى وَالتُّقَى وَالْعَفَافَ وَالْغِنَى



Alloohumma innii as alukal hudaa wattuqoo wal ‘afaafa wal ghinaa



”Ya Allah ! Sesungguhnya aku memohon petunjuk, ketaqwaan, kesehatan dan kekayaan.”